Sosok Penulis Tekun Itu Sekarang Profesor

 Oleh Ali Anwar Mhd 

SAYA, salah satu dari sekian orang yang menjadi saksi, atas kegigihan dan ketekunan sosok Ngainun Naim, dalam menggeluti dunia kepenulisan. Iya, Kang Naim saya biasa memanggilnya. Teman satu angkatan saat menyelesaikan studi S.1 di STAIN, yang sekarang UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung. Kegigihan dan ketekunan yang dia jalani sejak tahun 1995 yang saya saksikan.

Di tahun itu, perjumpaan pertama saya dengan Kang Naim, dimulai saat dia menjalani mutasi kuliah dari IAIN Sunan Ampel Surabaya menuju STAIN Tulungagung. Mutasi yang dia jalani masuk di semester tiga, dan menjadi satu angkatan dengan saya, yang saat itu saya duduk di semester yang sama. Entah bagaimana awal mulanya perkenalan itu terjadi. Seingat saya, saat itu, usai mengikuti perkulihaan salah satu dosen, yang dilanjutkan dengan "cangkruk" di bawah pohon beringin, yang pohon tersebut berada tidak jauh dari kelas kuliah saya. Di situlah mulai terjadi tegur sapa untuk saling berkenalan dan ngobrol. Kang Naim menyampaikan bahwa, dia mahasiswa mutasi dari IAIN Sunan Ampel Surabaya, dan sekarang kuliah di sini, yang tidak jauh dari rumahnya, karena bertempat tinggal di Sumbergempol Tulungagung. Saat itu tidak menyampaikan alasan kepindahan. Namun belakangan saya ketahui sebab faktor keterbatasan biaya kuliah dan biaya hidup.  

Semenjak kenal itulah, saya akrab dan beberapa kali sempat diajak bermain ke rumahnya. Bahkan sempat singgah di sana. Iya, bermain dan singgah ke rumah orang tuanya. Saya masih ingat rumah tempat tinggalnya yang sederhana, terletak di desa Sambidoplang kecamatan Sumbergempol Tulungagung. Tempat tinggal itu tidak jauh dari kampus. Tidak sampai puluhan kilometer. Saat singgah, saya ingat betul, saat tidur di kamarnya yang sederhana, ada banyak buku berceceran dilantai dan dipajang di rak sederhana mengelilingi di dinding atas di dalam kamar. Hal tersebut pertanda, dunia literasi menjadi bagian dari proses perjalanan hidup Kang Naim.  

Juga semenjak saya kenal itulah, kegiatan meresensi buku baru adalah yang selalu dikerjakan bersama beberapa temannya. Tidak banyak. Dengan menggunakan mesin ketik manual di kantor salah satu organisasi ekstra kampus. Pekerjaan itu sering dilakukan. Begitu selesai, langsung dikirim ke berbagai media. Pengiriman masih bersifat manual. Melalui jasa Pos Indonesia. Yang saat itu masih satu-satunya jasa pengiriman barang. Belum ada layanan jasa pengiriman seperti JNE, TIKI, Pandu Logisik, Wahana, Si Cepat dan sebagainya. Juga pengiriman belum melalui email seperti saat ini, yang lebih cepat dan praktis.

Dari beberapa kiriman tulisan, yang sering saya ketahui, banyak yang ditolak. Namun hal demikian, tidak membuatnya patah arang. Dia tetap berusaha memotivasi dirinya untuk terus menulis dan mengirimnya sampai berhasil. Itulah “ketlatenan” dan tekunnya Kang Naim. Kegagalan yang dialami, seolah menjadi cambuk untuk menumbuhkan semangat baru dalam mencapai keinginannya, dan sampai berhasil.

Di dunia literasi, kalau Kang Naim sangat rajin, gigih, tekun, dan tidak mudah patah arang, berbalik 180 derajat berbeda dengan saya. Saya hanya penulis musiman dan sekedarnya. Tidak tahan banting dan mudah putus asa. Pernah saat itu mencoba mengirim tulisan ke bebebapa media, hanya satu yang diterima, yaitu puisi yang dimuat di majalah MPA. Majalah milik Kanwil Departemen Agama Prov. Jatim. Dari hasil pemuatan karya itu, saya mendapat honor Rp. 25.000,-. Lumayan besar nilainya di tahun 1996. Tentu membuat saya sangat gembira. Namun pasca itu, beberapa kali mencoba berkirim tulisan ke beberapa media masa, tidak satupun yang dimuat. Dengan kejadian itu, lantas saya putuskan berhenti untuk mengirimkan tulisan hasil karya ke beberapa media masa. Saat itu saya hanya merawat majalah dinding yang ada di pesantren tempat saya tinggal sebagai santri.

Itulah yang membedakan saya dan Kang Naim. Saya begitu tulisan ditolak berhenti berkirim tulisan. Sedangkan Kang Naim tidak demikian. Begitu kiriman tulisan ditolak, maka menjadi spirit baru sebagai bentuk tantangan yang harus ditaklukan. Bahkan dengan ditolaknya kiriman tulisan, semakin tekun dan produktif dalam melahirkan karya. Terbukti saat itu, dalam perjalanannya banyak tulisan berbentuk resensi yang akhirnya dimuat di beberapa media masa seperti; Surya, MPA, dan media lainnya. Juga beberapa tulisan yang berbentuk artikel atau esei.

Kang Naim kini sudah berbeda dengan yang dulu. Karena kegigihan dan ketekunannya, sekarang menjadi penulis yang sangat produktif. Di samping sebagai dosen di almamaternya (IAIN Tulungagung). Banyak karya yang sudah dihasilkan dan tersebar di penjuru Indonesia. Perkerjaannya tidak menghalangi untuk bisa berkarya. Alasan sibuk dan lelah tidak dia kenal untuk tidak menulis. Menulis sudah benar-benar menjadi bagian hidupnya. Yang dia kerjakan adalah berkarya dan terus berkarya untuk memberi manfaat melalui tulisan. 

Karya yang dilahirkan bukan saja untuk kepentingan dirinya seperti saat itu, mengejar honor menulis. Tapi menulis untuk menjadi karya yang bisa dinikmati oleh semua kalangan. Karya yang mengajak orang lain untuk berbuat sesuatu. Menghasilkan karya untuk kepentingan yang lebih besar. Karya berupa buku tersebut antara lain; Proses Kreatif Penulisan akademik, The Power of Writing, The Power of Reading, Islam dan Pluralisme Agama, Teologi Kerukunan, Resolusi Menulis, Teraju; Strategi Membaca Buku dan Mengikat makna.

Karya-karya tersebut sebagai bukti keberhasilan Kang Naim dalam dunia literasi. Berkat kegigihan dan ketekunan melalui kerja keras yang dijalani selama ini telah membuahkan hasil. Saya sebagai teman dan siapapun yang kenal dengan Kang Naim pasti ikut bangga. Atas raihan prestasi yang didapat melalui kerja keras. Tapi benar-benar hasil jerih payah pribadi luar biasa, yang didukung oleh lingkungan keluarga yang kuat. Keluarga yang lebih mengutamakan dan menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Bukan membanggakan harta kekayaan. Itu yang saya saksikan selama berkunjung beberapa kali di keluarga Kang Naim yang ayahnya seorang guru.

Kini Kang Naim bukan saja menjadi penulis produktif, seorang dosen di kampus almamternya, tapi kini sudah menjadi Guru Besar. Iya Gubes. Guru Besar di bidang Filsafat Islam. Beberapa minggu yang lalu telah dilantik bersama 15 kolegannya di Jakarta. Dan Kang Naim tercatat sebagai Guru Besar yang paling muda. Tentu capaian akademik yang luar biasa. Menjadi Guru Besar dengan usia yang masih muda. Harus kita apresiasi dengan senang hati dan bangga sebagai kolega. Dan harus kita jadikan inspirasi bersama tentang kesuksesan Kang Naim. Iya. Prof. Dr. Ngainun Naim, S.Ag., M.H.I.

Posting Komentar

0 Komentar