Oleh: Ali Anwar Mhd
Nanti malam, tujuh hari meninggalnya paman (Pak Lek) saya.
Saat meninggal, enam hari yang lalu, saya sedang dalam posisi acara Lailatul Ijtima' MWC NU Bagor.
Saat itu, saya usai memberikan sambutan, salah satu jamaah maju menuju tempat saya duduk.
Saya belum beranjak dari tempat di posisi dimana saya memberikan sambutan.
Dengan nada lirih, si jamaah berbisik dan menyampaikan kalau ada kabar Paman saya meninggal dunia
Seketika itu, mix yang sudah saya berikan ke pembawa acara langsung saya minta lagi.
Saya menyampaikan kabar duka tersebut kepada jamaah, dan saya minta bacaan Fatihah sebanyak 3 kali.
Usai mememintakan doa untuk paman, acara pun dilanjut sampai selesai.
Sekitar pukul 22.00 Wib. usai acara, saya baru menuju rumah paman.
Di sana, sudah berkerumun banyak orang.
Saya disambut oleh sepupu dan mengabarkan bahwa Paman sudah di mandikan dan dishalati dua gelombang.
Saya pun bergegas ambil air wudlu, dan segera bergabung dikerumuman banyak orang. Saya ambil diposisi serambi masjid. Saya sholat jenazah di gelombang terakhir malam itu.
Di dalam masjid sedang berlangsung terus pembacaan surat Al ikhlas secara bergantian, dekat dengan posisi paman yang diletakkan di dekat pengimaman masjid.
Sekitar pukul 02.00 Wib. dini hari, saya baru pulang dari rumah paman. Mengingat besok harus kembali untuk ikut mengantar jenazah beliau.
Pagi itu, sekitar pukul 09.00 Wib. jenazah paman diantar oleh banyak pelayat ke peristirahatan terakhir. Di pemakaman dusun kelahiran paman, dengan posisi dekat dengan makam kakek-nenek (keluarga besar), termasuk bapak saya.
Bapak Subandi adalah adik kedua bapak saya. Semua berjumlah 9 saudara. Bapak saya anak pertama. Dari 9 bersaudara, yang sudah meninggal Bapak dan Paman. Lainnya masih ada.
Bapak Subandi remaja orang yang gigih dan telaten mencari ilmu. Masa kecil dan remaja dihabiskan menuntut ilmu agama di lingkungan kampung kelahiran dan berlanjut belajar di pondok pesantren Mangunsari Pace Nganjuk.
Pondok Pesantren Mangunsari adalah pesantren yang terletak di Dusun Mangunsari Kecamatan Pace, berjarak arah timur sekitar 2 km dari Pondok Pesantren Mojosari Loceret Nganjuk. Keduanya berdiri sudah ratusan tahun silam. Dan sudah turun beberapa generasi sampai saat sekarang.
Paman belajar di pondok Mangunsari, yang dari keluarga tidak sendirian. Namun juga diikuti oleh kedua adiknya (yang menyusul mengikuti jejak sang kakak) yang belajar di pondok tersebut.
Usai memperdalam ilmu agama, Subandi muda pulang kampung dan diambil menantu tokoh lokal satu desa tapi beda dusun dengan tempat kelahirannya.
Karena memiliki ilmu agama hasil dari belajar semasa kecil dan remaja, maka oleh mertuanya di buatkan tempat ibadah untuk keluarga dan lingkungan. Masjid yang didirikan dipercayakan pengelolaan dan keberlangsunganya.
Sambil mengelola masjid yang ada, paman menjadi guru Agama di SD. Hasil pengangkatan melalui UGA.
Di samping mengajar di SDN dan mengelola masjid, paman mendirikan madrasah sore di lingkungan rumah dan masjid. Momentum penguatan pendirian madrasah sore yang didirikan setelah ada pergeseran guru Agama SDN di kembalikan ke lingkungan Depag. Termasuk paman.
Para guru agama ASN angkatan melalui UGA yang dikembalikan ke Depag, diminta membuat madrasah atau memaksimalkan madrasah sore yang ada di kampung. Ada sebagian yang melahirkan madrasah ibtidaiyah pagi, sekarang menjadi MIN/MIS.
Maka fokus paman adalah menghidupkan madrasah sore di bawah lingkungan Depag (sekarang pontren) tersebut.
Setelah lama mengelola masjid dan madin sore yang terletak di depan tempat tinggal, paman oleh masyarakat di kenal (diberi julukan) Pak Kiai Bandi. Setelah melaksanakan ibadah haji nama paman yang asalnya Subandi ditambah Nama di depan Ahmad. Akhirnya secara komplit masyarakat memanggil KH. Ahmad Subandi. Sekali lagi yang menjuluki adalah masyarakat sekitar.
Saya adalah salah satu murid dari madrasah yang dikelola paman tersebut. Belajar di madin sore sekirar hampir 3 tahun. Saat saya duduk dibangku kelas 4 sampai kelas 6 SDN. Saat itu memang saya diminta untuk ngaji di situ. Karena saat itu kira-kira jumlah santri yang masih sedikit.
Sebelum saya ngaji di madin sore milik paman, saya sebenarnya sudah ngaji di lingkungan mushalla di rumah sejak kecil. Sementara tempat ngaji di paman masih berjarak 3 km dan harus berjalan kaki.
Akhirnya saya tetap ngaji ditempat lama, dan juga ditempat paman. Kalau pagi saya sekolah di SDN sampai pukul 12.30 Wib. yang berjarak 4 km dan berjalan kaki. Sore jam 14.30-16.00 Wib. harus kembali berangkat berjalan kaki bersama para teman kecil menjalani sekolah madrasah sore di tempat paman yang berjarak sekitar 3 km.
Sedang setelah magrib sampai jam 19.00 Wib ngaji Al-Qur'an di musholla kyai kampung sebelah timur sekitar 200 meter dari rumah. Dan setelah itu belajar di madrasah diniyah malam sampai pukul 20.30 Wib. di musholla/masjid barat rumah, yang berjarak beberapa meter dari tempat tinggal.
Paman adalah salah satu teladan saya. Di samping guru yang memang mengajar saya saat belajar di madrasah sore yang didirikan dan dikelolanya.
Paman dalam menjalani hidup mengalir saja. Tidak pernah aneh-aneh. Selalu tenang, santai, dan istiqomah dalam menjalani hidup. Sikapnya santun, ramah, sabar dan bersahaja.
Rutinitasnya mengajar, ngimami dan mengelola masjid, sambil bercocok tanam pertanian, dan sedikit punya ternak. Semua kegiatan untuk memenuhi kegiatan dan kebutuhan keluarga dan jamaahnya.
Paman memiliki 5 anak. Semua sudah berkeluarga dan mandiri. Sudah memiliki banyak cucu. Semua anaknya berkecukupan.
Anak pertama bekerja di Pemkab. Anak kedua sampai keempat semua menjadi pendidik (menjadi generasi penerus sang Bapak yang juga pendidik). Sedang yang anak ragil bekerja di kesehatan (RS).
Paman selalu menyempatkan diri untuk silaturahmi ke saudara-saudaranya selama masih hidup. Terutama silaturahim ke bapak saya. Setahu saya, tidak jarang ketika ada apa-apa bapak sering diajak komunikasi. Juga dengan saudara-saudara lainnya.
Tidak jarang (dulu) saat saya masih kecil ketika paman silaturahim ke rumah bapak, saya yang dicari. Tentu memberi motifasi untuk terus belajar dan sekolah yang dibisikkan ke saya.
Kini panjenengan sudah kembali selamanya, untuk menghadap sang Kholiq. Dengan usia panjenengan yang sudah 79 tahun. Sudah banyak bonus yang diberikan panjenengan.
Semoga semua amal ibadah panjenengan diterima, dan semua kesalahan di ampuni Allah SWT. Keluarga yang tinggal tetap dalam kebaikan dan ketabahan.
Selamat jalan KH. Ahmad Subandi bin Kasbun. Panjenengan adalah paman, guru, dan teladan saya. Panjenengan adalah orang baik. Semoga husnul khatimah. Al Fatihah ... ! Aamiin 3x YRA.
0 Komentar